Selasa, 02 Desember 2014

Muzara'ah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Munculnya ekonomi islam atau ekonomi syari’ah dewasa ini telah membawa nama-nama pemikir islam klasik muncul kembali ,yaitu pemikiran dan gagasan ekonomi syari’ah tersebut. Nama-nama ekonom muslim terpandang seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Abu Yusuf, Abu Udaid, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan Asy-Syaukani menjadi rujukan serta pijakan bagi perkembangan ekonomi islam. Ekonomi islam yang muncul pada abat pertengahan awal abad 20 hingga dewasa ini telah menunjukkan eksistensinya. Bahkan hampir sejajar dengan sistem ekonomi lainnya, seperti kapitalis dan sosialis. Hal ini ditandai dengan banyaknya instrumen-instrumen ekonomi yang menggunakan instrumen ekonomi syari’ah, seperti aqad syirkah, aqad qiradh, bai’ al salam, dan akad ijarah.
       Dalam makalah ini kami akan membahas terkait tentang
“ Muzara’ah”
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian muzara’ah?
2.      Bagaimana dasar hukum muzara’ah?
3.      Apa rukun dan syarat muzara’ah?
4.      Apa hikmah dari bermuzara’ah?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian muzara’ah                  
2.      Untuk mengetahui dasar hukum muzara’ah,
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat muzara’ah
4.      Untuk mengetahui hikmah bermuzara’ah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muzara’ah
       Secara etimologis muzara’ah ( المزارعة) adalah wajan (مفاعلة) dari kata الزرع yang sama artinya dengan الانبات ( menumbuhkan ). Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.[1] Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, muzara’ah adalah kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu ( presentasi ) dari hasil panen. Dalam kebiasaan di indonesia disebut sebagai “ paron sawah “
       Menurut istilah muzara’ah didfinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
1.      Menurut Hanafiyah, Muzara’ah ialah :
عقد على الزرع ببعض الخارج من الارض
Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi”
2.      Menurut Hanabilah, Muzara’ah ialah :
دفع الارض الى من يزرعها او يعمل عليها والزرع بينهما
“ Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya  tersebut dibagi diantara keduanya.”
3.      Menurut Syaikh Ibrahim al- Bajuri, Muzara’ah ialah :[2]
عمل عامل فى الارض ببعض ما يخرج منها و البذر من المالك
“ Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”

4.      Menurut Syafi’i, muzara’ah ialah :[3]
معاملة العامل فى الارض ببعض ما يخرج منها على ان يكون البذر من المالك
“ menggaarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut.”

B.     Dasar Hukum Muzara’ah
        Dalam membahas hukum al- muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama, Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Menurut Asy-Syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslimah dari Tsabit Ibn al-Dhahak :[4]
انّ رسول الله ص م : نهى عن المزارعة بلمؤجرة و قال بأس ( رواه مسلم )
“ Bahwa Rasulullah SAW telah melarang bermuzara’ah dan memerintahkan sewa-menyewa saja dan Rasulullah saw bersabda, itu tidak mengapa “ (HR. Muslim)
        Menurut mereka, objek akad dalam al-muzara’ah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada ( al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula belum jelas.
       Dalam sebuah hadits lain ada yang membolehkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibn Abbas ra ;
ان النبى ص م.  لم يحرم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان ابى فليمسك ارضه (رواه البخارى)
“ Sesungguhnya Nabi saw menyatakan ,tidak mengharamkan  bermuzara’ah bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain,dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau memberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.”

         Jumhur ulama membolehkan akad al-muzara’ah,tetapi harus mengemukakan rukun dan syarat harus dipenuhi sehingga akad dianggap sah.


C.    Rukun dan Syarat Muzara’ah
1.      Rukun muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :[5]
a.       Pemilik tanah
b.      Petani penggarap
c.       Objek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani
d.      Ijab
e.       Qabul
2.      Syarat muzara’ah menurut jumhur ulama adalah :[6]
a.       Menyangkut orang yang berakad
Untuk menyangkut orang yang berakad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang telah baligh dan berakal.
b.      Menyangkut benih yang akan ditanam
Untuk menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan tanah itu dan akan menghasilkan.
c.       Untuk menyangkut tanah pertanian
Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tanah itu adalah tanah tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah. Batas-batas tanah itu jelas, tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap, dan apabila pemillik tanah ikut mengelola pertanian itu, maka akad muzara’ah tidak sah.
d.      Untuk menyangkut hasil panen
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad,tanpa bolah ada pengkhususan. Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak menimbulkan perselisihan dikemudian hari dan penentuaannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti : satu kuintal untuk pekerja atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu
e.       Untuk menyangkut jangka waktu
Syarat untuk menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula
f.       Untuk menyangkut objek akad
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan muzara’ah mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah.

D.    Hikmah Muzara’ah
Hikmah yang terkandung dalam muzara’ah adalah :[7]
1.      Saling tolong menolong ( ta’awun), dimana antara pemilik tanah dengan petani penggarap saling menguntungkan
2.      Tidak terjadi adanya kemubaziran, yakni tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang membutuhkan, begitupu pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya tergarap.
3.      Meimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.

               BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Muzara’ah berarti kerjasama dibidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap dan benihnya berasal dari pemilik tanah.
2.      Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah tetapi harus memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan
3.      Rukun muzara’ah adalah pemilik tanah, petani penggarap,objek muzara’ah, ijab dan qabul
4.      Hikmah bermuzara’a diantaranya ; saling tolong menolong (taawun), tidak terjadi adanya kemubaziran, dan menimbulkan rasa keadilan dan keseimbangan.
B.     Saran
       Demikian pembahasan yang kami sampaikan. Harapan kami, dengan adanya tulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita,semoga  bermanfaat bagi para pembaca dan sudilah memberi motivasi, kritik, saran yang selalu penulis nantikan untuk membebani karya-karya tulis yang lain.










DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta. Gaya Media Pratama.
Sahrani Sohari, Abdullah Ru’fah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor. Ghalia Indonesia.



[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 ) 275
[2] Sohari sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor,  Ghalia Indonesia, 2011 ) 215
[3] Sohari sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor,  Ghalia Indonesia,2011) 214

[4] Sohari sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor,  Ghalia Indonesia, 2011 ) 215
[5] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 ) 278
[6] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000 ) 279

[7] Sohari sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor,  Ghalia Indonesia, 2011 ) 218

MAKALAH INI DISUSUN OLEH FATKHUL JANNAH MAHASISWA INSURI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar